Jumat, 23 Maret 2012

HUKUM PERJANJIAN Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untukmempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuatmanusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian. Dilihat dari pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifatsepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing - masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. MenurutPasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum danmengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah: 1. Kesepakatan para pihak 2. Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll) 3. menyangkut hal tertentu 4. adanya causa yang halal. Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknyan perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (haltertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum.(J.Satrio, 1992). Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal1338 KUHPerdata, yaitu: 1. perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagimereka yang membuatnya. 2. perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan daripara pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. 3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik. Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata padadasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentukmaupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan,kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata). Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menja diperhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan. Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namuntidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi yang dilayangkan. Somasi yang tidak dipindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukanlangkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yangberwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Macam – Macam Perjanjian 1. Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban 2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik 3. Perjanjian konsensuil, formal dan, riil 4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran Syarat sahnya perjanjian Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu : 1. Sepakat untuk mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu 4. Sebab yang halaL Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Pelaksanaan Perjanjian Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja. Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena ; 1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki. 2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya. 3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan 4. Terlibat Hukum 5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian http://studihukum.wordpress.com/2006/11/11/hukum-perjanjian -2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar