Senin, 23 Mei 2011

Iklim Dan Geografis


Letak Geografi
Wilayah Kalimantan Timur dengan luas mencapai 245.237,80 km² atau satu setengah kali pulau Jawa dan Madura (11% dari total luas wilayah Indonesia), sebagian besar merupakan daratan yakni 20.039.500 Ha. (81,71%), sedangkan lautan hanya 4.484.280 Ha. (18,29%). Daerah yang terkenal sebagai gudang kayu ini mempunyai ratusan sungai yang tersebar di hampir semua kabupaten dan kota dengan sungai terpanjang Sungai Mahakam.
Batas wilayah provinsi yang menjadi pintu gerbang utama pembangunan Indonesia di bagian timur ini adalah :
• Utara : Negara Bagian Sabah (Malaysia Timur).
• Timur : Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Selat Sulawesi.
• Selatan : Kalimantan Selatan.
• Barat : Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Negara Bagian Serawak (Malaysia Timur).
Ibukota provinsi Kalimantan Timur adalah Samarinda yang terletak di tepi Sungai Mahakam. Samarinda dapat dicapai lewat darat dan udara, meskipun harus transit di Kota Balikpapan yang merupakan tempat beradanya Bandara Internasional Sepinggan. Kemudian dilanjutkan dengan penerbangan Cassa 212 dengan jadwal penerbangan setiap hari kecuali hari Minggu, ke bandara Temindung.
Topografi Wilayah
Wilayah Kalimantan Timur didominasi topografi bergelombang, dari kemiringan landai sampai curam, dengan ketinggian berkisar antara 0-1500 meter dpl dengan kemiringan 60 %.
Struktur Geologi
Provinsi Kalimantan Timur didominasi oleh batuan sedimen liat berlempung dan terdapat pula kandungan batuan endapan tersier dan batuan endapan kwartener. Formasi batuan endapan utama terdiri dari batuan pasir kwarsa dan batuan liat.
Karakteristik Iklim
Provinsi Kalimantan Timur termasuk iklim Tropika Humida dengan curah hujan berkisar antara 1500-4500 mm per tahun. Temperatur udara minimum rata-rata 21°C dan maksimum 34°C dengan perbedaan temperatur siang dan malam antara 5°-7°C.Temperatur minimum umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari, sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan Agustus.

Kelembaban Udara
Kelembaban udara rata-rata mencapai 86 % dengan kecepatan angin rata-rata 5 knot perjam. Data curah hujan selama 5 tahun dari tahun 1994-1998 mencatat bahwa rata-rata curah hujan mencapai 2060,2 mm per tahun.

Peranan Sektor Luar Negeri Terhadap Indonesia


Negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri serta kebijaksanaan luar negerinya. Bangsa atau negara tidak mungkin sanggup memenuhi semua kebutuhan warganya karena itu, diperlukan suatu kerjasama hubungan internasional yaitu hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara itu.
Bangsa Indonesia dalam membina hubungan dengan negara lain menerapkan prinsip-prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan disegala bidang serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembangunan hubungan luar negeri Indonesia ditujukan untuk peningkatan persahabatan dan kerjasama bilateral, regional dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai dengan kepentingan dan kemampuan nasional, oleh karena itu, Indonesia harus membangun citra yang positif diluar negeri.
Untuk menandai hubungan dengan negara lain, harus didahului dengan pembukaan utusan konsuler atau diplomatik yang bersifat bilateral. Hubungan Internasional diselenggarakan oleh kesatuan diplomatik sebagai unsur departemen luar negeri yang harus mampu menguraikan aspirasi nasional diluar negeri. Tugas-tugas yang dijalankan menteri luar negeri harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada presiden sebagai kepala pemerintahaan.
A. Langkah-langkah pemerintah Orde Baru terhadap pembangunan politik luar negeri (1968-1998).
Pada masa orde baru, militer sangat berperan dalam politik Indonesia. Militer mengajukan hak untuk memiliki perwakilan di pemerintahan, DPR, dan birokrasi. Hal ini menimbulkan konsep dwi-fungsi (dual-function) yang saat ini digunakan sebagai dasar keterlibatan militer dalam politik. Setelah kudeta 1965, posisi strategis dalam pemerintahan, baik dalam tingkat nasional maupun sub-nasional diambil oleh para perwira. Soeharto menaruh perhatian pada masalah pembangunan ekonomi dan mempertahankan hubungan persahabatan dengan pihak Barat. Pemerintahannya memperkenalkan kebujakan pintu terbuka di mana investasi asing ditingkatkan, dan bantuan pinjaman dibutuhkan untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia. Soeharto menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Indonesia juga ktif dalam mendukung berdirinya organisasi ASEAN di tahun 1967 guna mempromosikan kerja sama ekonomi dan politik.
B. Hubungan Indonesia dengan Negara-negara lain.
Sebelum tahun 1988, para petinggi Indonesia sepakat bahwa ASEAN adalah fondasi politik luar negeri Indonesia yakni dalam bidang keamanan dan stabilitas. Indonesia memainkan peranan penting dalam pembentukan organisasi regional tersebut.
Tahun 1966, Soeharto menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan mulai menunjukkan pada dunia bahwa ia akan meninggalkan kebijakan Soekarno yang sangat agresif. Dengan membangun stabilitas politik, Indonesia dapat membangun ekonominya melalui investasi asing dan bantuan luar negeri.
ASEAN bukanlah organisasi regional pertama, akan tetapi sudah ada sebelumnya SEATO (The Southeast Asian Treaty Organization) yang didirikan oleh Amerika Serikat untuk menghadapi kekuatan komunis di wilayah Asia Tenggara. Pakta militer ini gagal mencapai tujuannya karena kekuatan komunis yang tidak dapat dilawan hanya dengan kekuatan militer konvensional dan kebanyakan dari anggota organiasasi ini tidak mempunyai komitmen yang kuat terhadap tujuan yang ada. Indonesia yang anti-kolonialisme bertentangan dengan organisasi ini dan Malaya sebagai sekutu Inggris yang bukan anggota SEATO menganggap bahwa organisasi tersebut tidak popular sehingga diperlukan pembentukan organisasi keamanan di luar SEATO.
Dengan dukungan Filipina dan Thailand, Malaya membentuk organisasi budaya dan ekonomi ASA (Association of Southeast Asia). ASA mengundang Negara-negara di Asia Tenggara untuk bergabung dalam organisasi ini, akan tetapi tidak ada satu pun yang berminat, termasuk Indonesia di bawah Presiden Soekarno. ASA tidak berkembang juga disebabkan karena adanya perseteruan antara Malaya dan Filipina dalam masalah kepemilikan Sabah.
Selain itu juga ada organisasi Maphilindo (Malay, Filipina, Indonesia), tetapi organisasi ini pecah karena adanya perseteruan Indonesia dengan Malaya. ASA kembali bangkit setelah Ferdinand Marcos merubah kebijakannya terhadap Sabah, tetapi Indonesia tetap tidak ikut bergabung dalam organisasi ini.
C. Hubungan Bilateral Indonesia dengan Negara-negara ASEAN dan Posisi Indonesia dalam Konteks ASEAN.
Hubungan Indonesia – Malaysia
Setelah Soeharto memegang kekuasaan, konfrontasi dengan Malaysia berakhir dan hubungan social-budaya dipulihkan. Banyak guru dan dosen yang dikirim ke Malaysia untuk mengajar di sana. Di tahun 1972, bahasa Melayu dan Indonesia disatukan oleh suatu system ejaan yang sama. Latihan militer bersama diadakan untuk menghancurkan kekuatan komunis di Sabah dan Serawak, perjanjian atas Selat Malaka ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Pada bulan Maret 1980, Indonesia mempererat kerjasama dengan Malaysia. Presiden Soeharto bertemu dengan Hussein Onn dan menghasilkan Doktrin Kuantan yang menganggap bahwa Vietnam berada di bawah tekanan Cina sehingga mengakibatkan Vietnam lebih mendekati Uni Soviet, dan ini dinilai akan membahayakan keamanan regional.
Tahun 1972, diadakan kerjasama dengan mengadakan Komite Perbatasan Bersama (Joint Border Committee/JBC) untuk menghadapi pemberontakan komunis di perbatasan Malaysia Timur. Di tahun 1984, kerjasama ini diperbaharui dengan memasukkan patroli laut dan udara di sepanjang perbatasan dan Selat Malaka. Sel;ain itu, penjagalan terhadap penyelundupan, perdagangan obat bius dan pemalsuan uang juga ditambahkan dalam kerjasama tersebut.
Hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali bermasalah dengan adanya tawaran Indonesia atas fasilitas militer yang digunakan oleh angkatan bersenjata Singapura. Malaysia mengkritik dan menilainya sebagai ancaman terhadap keamanan Malaysia. Adanya warga Negara Indonesia yang digantung di Malaysia karena menjual obat bius karena Indonesia sebelumnya tidak berhasil menyelamatkan terhukum dengan meminta penundaan proses eksekusi. Selain itu, banyaknya pendatang illegal dari Indonesia ke Malaysia sejak tahun 1970 menimbulkan masalah karena meningkatkan angka kriminalitas dan penyebaran penyakit di Malaysia. Pada bulan Juni 1994, sengketa pulau Sipadan dan Ligitan menimbulkan kritik Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan Malaysia.

Hubungan Indonesia – Singapura
Pada masa pemerintahan Soeharto, masalah militer yang terjadi antara Indonesia dengan Singapura mulai dikesampingkan. Soeharto menaruh perhatian pada rehabilitasi ekonomi dan pembangunan ekonomi dan menolak tindakan drastis. Akibat dari masalah militer tersebut, hubungan kedua Negara berada pada titik terendah dan memakan waktu lima tahun untuk menstabilkannya. Bulan Mei 1973, Perdana Menteri Lee Kuan Yem berkunjung ke Indonesia untuk membuka hubungan Indonesia – Singapura. Bersama dengan duta besar Kwoon Choy, ia menyempatkan diri unutk menaburkan bunga di pusara marinir dari kedua Negara yang gugur akibat konfrontasi militer. Tindakan ini menenangkan hati kedua Negara sehingga persahabatan kembali terjalin. Singapura juga memberikan informasi perdagangan bilateral untuk menunjukkan bahwa tidak ada lagi yang disembunyikan diantara kedua Negara.
Pada bulan Januari 1990 diadakan kesepakatan dalam mengembangkan kawasan industri Batam. Singapura juga akan membeli air minum dari pulau Bintan. Dengan ini Indonesia – Singapura kembali harmonis.Kepentingan timbal-balik juga dialaksanakan dengan mengadakan MOU (Memorandum of Understanding) yang memberikan izin kepada Singapura untuk melatih pasukan bersenjatanya di Indonesia. Juga dibukanya pangkalan udara di Pekan Baru yang dikembangkan kedua Negara sebagai ajang latihan militer bersama.Pada tahun 1994, Indonesia – Singapura menandatangani Persetujuan Kerjasama Pariwisata dan Persetujuan Pelayanan Udara yang memungkinkan kedua Negara mengambil keuntungan dari meledaknya industri pariwisata. Pada tahun 1995, Singapura menjadi penanam modal kumulati nomor enam di Indonesia.
Hubungan Indonesia – Filipina
Dalam catatan memorinya, Jenderal Yoga mencatat bahwa Marcos tidak mengikuti langkah-langkah yang dianjurkan oleh Soeharto yakni yang pertama memberikan jaminan kemerdekaan beragama dan masyarakat Islam bagian selatan Filipina diberikan perlindungan. Yang kedua tradisi dan budaya Islam dihargai, ketiga tanah milik nenek moyang Moro dikembalikan dan keempat masyarakat Islam diberi kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Marcos menerima tiga dari empat usulan dan menolak satu yang berkaitan dengan pengembalian tanah. Kemudian Marcos mengesampingkan Indonesia dan berupaya untuk mendekati Negara-negara Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk memecahkan isu Moro. Yoga juga berkomentar bahwa karena sikap Marcos, Indonesia tidak ingin lagi memberikan bantuan. Dalam soal isu Sabah, Marcos tidak memberikan konsesi terhadap Malaysia selama pertemuan di Bali yang menyebabkan kekecawaan bagi Indonesia.
Isu Sabah menyebabkan friksi (perpecahan) yang berkelanjutan antara Jakarta dan Manila. Ditahun 1981 Duta Besar Indonesia di Manila, Jenderal Leo Lopulisa, dilaporkan oleh pers Filipina telah mendesak Filipina untuk berunding dengan Malaysia atas isu Sabah dan dikatakan telah meminta majelis nasional Filipina untuk meloloskan suatu resolusi yang meyakinkan Malaysia bahwa Filipina tidak akan melanjutkan hak atas Sabah. Pemerintah Filipina ini menganggap mencampuri urusan dalam negeri Filipina dan mereka memprotes terhadap pemerintah Indonesia. Sebagai akibatnya, Duta Besar Indonesia untuk Filipina dipanggil pulang dan antara Januari 1982 dan April 1984 tidak ada Duta Besar Indonesia yang ditempatkan di Manila.
Pada bulan Mei 1994 ada suatu peristiwa yang menunjang hubungan Manila Jakarta. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Filipina menjadwalkan suatu konfrensi mengenai Timor Timur. Ketika suatu konfrensi sudah dekat Jakarta mendesak pemerintah Filipina untuk menghalangi pelaksanaan konfrensi. Ketika Manila mengatakan bahwa mereka tidak dapat membubarkan suatu pertemuan LSM, Jakarta mengumumkan bahwa delagasi tidak akan menghadiri konfrensi pengusaha ASEAN yang diadakan di Davau. Jakarta juga mengancam bahwa Indonesia mungkin tidak akan melanjutkan untuk bertindak sebagai penengah antara Moro dan Manila. Selain itu, terdapat laporan bahwa organisasi Islam pro pemerintah di Jakarta mengusulkan mengadakan ”suatu konferensi tandingan” mengenai MNLF untuk otonomi. Hubungan Jakarta dan Manila menjadi panas. Tetapi setelah itu, akhirnya Filipina mengalah akibat dari tekanan Jakarta yang terus menerus dan Presiden Ramos pada akhirnya memerintahkan agar delegasi non-Filipina dilarang memasuki Filipina untuk menghadiri konferensi dengan alasan mereka akan mengganggu kepentingan nasional Filipina. Setelah itu Indonesia memuji Filipina.
Hubungan Indonesia – Thailand
Setelah Chatichai jatuh dari kursi perdana menteri, perbaikan hubungan Indonesia – Thailand mulai terlaksana. Tahun 1991, Perdana Menteri Anand Panyarachun menghidupkan lagi ide Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA-ASEAN Free Trade Area) dan menerima dukungan Singapura dan Malaysia.Hubungan Indonesia – Thailand jauh lebih baik saat Chuan Leekpai menjadi perdana Menteri. Ia mengunjungi Indonesia dan sepakat mempelajari proyek Segitiga Bagian Utara untuk mendorong kerjasama ekonomi Indonesia – Thailand – Malaysia. Indonesia menjadi antusias terhadap usulan tersebut setelah upaya RRC untuk menarik investasi asing dari Indonesia.
Hubungan Indonesia – Brunei
Hubungan Indonesia dengan Brunei dilakukan dengan saling mengunjungi antara Soeharto dan Sultan. Soeharto berkunjung dua kali yaitu pada tahun 1984 saat Brunei mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris dan pada tahun 1989 selama upacara berkhatan. Sultan berkunjung ke Jakarta di tahun 1988 dan memberikan pinjaman lunak sebesar US$ 100 juta untuk proyek Indonesia dan setengahnya digunakan untuk membiayai pembangunan jalan tol.
Indonesia dan Forum Regional ASEAN
Indonesia merupakan factor penting dalam pembentukan ASEAN sebagai organisasi yang bergairah. Indonesia memaksimalkan perannya di ASEAN. Satu indikatornya adalah mempromosikan ZOPFAN dan SEANWFZ yang mengajukan tentang konsep mengenai keamanan dan tertib regional.
Pada bulan Juli 1993 di Singapura, pada Pertemuan Konferensi Pasca Tinghkat Menteri ASEAN, ARF diperkenalkan dengan tujuan untuk membangun kepercayaan, stabilitas dan hubungan yang konstruktif. ARF dikukuhkan di Bangkok pada tahun 1994. ARF terdiri dari 18 anggota termasuk empat kekuatan utama (AS, Cina, Rusia, dan Jepang). Karena Indonesia memegang politik bebas aktif, maka ia tidak ingin terikat dalam suatu lembaga keamanan di mana terdapat kekuatan utama non-Asia Tenggara. Forum ini membicarakan isu-isu kunci seperti tindakan membina kepercayaan, perlombaan senjata, krisis Korea, rivalitas hak territorial di Laut Cina Selatan dan masa depan Kamboja. Ali Altas mengatakan bahwa Pertemuan Tingkat Tinggi terdahulu di konferensi ARF di Brunei, ASEAN akan memasukkan usulan atas ZOPFAN, SEANWFZ dan Pakta Persahabatan dan kerjasama.
D. Peran serta Republik Indonesia dalam oganisasi Internasional.
1. Peringatan 30 Tahun Konferensi Asia-Afrika
Pada tahun 1985, Indonesia menjadi tuan rumah peringatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Kurang lebih 100 negara Asia dan Afrika diundang. Dalam pertemuan tersebut, seluruh peserta tidak dapat menyetujui beberapa isu utama internasional. Akibatnya tidak ada resolusi. Beberapa komentar berpendapat bahwa ini bukanlah suatu konferensi. Tapi bagi Indonesia, ini adalah langkah pertama bagi indonesia untuk aktif kembali di dunia internasional.
2. Gerakan Non-Blok dan Pertemuan APEC.
Pada tahun 1987, Presiden Soeharto mengirim Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah untuk menghadiri konferensi Non-Blok di Zimbabwe, Afrika. Umar diperintahkan untuk menyampaikan keinginan Indonesia menjadi ketua konferensi Non-Blok selanjutnya. Tawaran itu ditolak alasnannya adalah karena Indonesia dinilai Pro-Barat oleh anggota lainnya yang Pro-Soviet. Selain itu, invasi Indonesia terhadap Timur Timur juga menimbulkan kemarahan negara-negara Afrika. Dan yang terakhir adalah penolakan Indonesia terhadap pembukaan kantor Organisasi Pembebasan Palestina di Jakarta. Tahun 1988, Ali Alatas kembali mengemukakan keinginan itu, tetapi hanya mendapatkan dukungan minoritas anggotanya. Pada tahun 1991 Indonesia berhasil mendapatkan dukungan disebabkan Indonesia antara tahun 1990 menyokong perdagangan bebas, baik di ASEAN maupun APEC.
3. Penengah antara Singapura dan Malaysia.
Pada bulan November 1986, terjadi ketegangan antara Singapura dan Malaysia akibat kunjungan Presiden Israel Chaim Herzog. Malaysia memprotes kunjungan tersebut dengan memanggil pulang duta besarnya dari Singapura. Namun Singapura menyatakan bahwa mereka mempunyai hak untuk mengundang setiap kepala negara untuk berkunjung ke negaranya. Perdana Menteri Lee Kuan Yew menunda pertemuan tersebut karena reaksi dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad. Setelah itu Presiden Soeharto diundang untuk mengunjungi Malaysia dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Singapura untuk menemui Perdana Menteri Lee. Hal itu diartikan bahwa itu adalah cara Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya.
4. Pertemuan ASEAN
Ketika Filipina dipimpin oleh Aquino, Filipina memerlukan dukungan dari negara-negara ASEAN sehingga pertemuan ASEAN ketiga diadakan di Manila. Presiden Soeharto datang dalam pertemuan tersebut meskipun mengabaikan rekomendasi dari para penasihatnya. Pertemuan ASEAN ketiga ini berhasil dilaksanakan pada bulan Desember 1987. Kepemimpinan Soeharto di antara para pemimpin negara ASEAN semakin kokoh sehingga Indonesia diperkenankan merancang agenda Pertemuan ASEAN keempat tahun 1992.
5. Ali Alatas: Pernyataan Politik Luar Negeri Baru.
Pada bulan Agustus 1988, dalam sebuah forum politik luar negeri di Yogyakarta, Ali Alatas mengajukan pernyaan bahwa Indonesia harus melanjutkan peran dominan, baik dalam masalah regional maupun internasional.
6. Pertemuan Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting/JIM)
Indonesia memperlihatkan kepemimpinannya di bidang regional dengan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja. Tahun 1980 Soeharto mengunjungi Perdana Menteri Hussein Onn di Malaysia untuk mencanangkan prinsip kuantan demi mendesak Vietnam meninggalkan Kamboja. Konsekuensinya, Vietnam akan mendapatkan bantuan ekonomi. Thailand tidak setuju dengan prinsip kuantan dan mengajukan “Cocktail Party”, namun Vietnam kurang berminat dengannya sehingga usaha ini dianggap gagal. Pada tahun 1987 diadakan Pertemuan Informal Jakarta dan Vietnam berkenan untuk hadir untuk mendiskusikan masalah ini sehingga Indonesia menjadi pusat perhatian dunia Internasional.

Pemerataan Pembangunan


Kunci dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah dan eksploitasi sumber daya manusia. Hipotesis Kusnets (1963) yang menyatakan bahwa sejalan dengan waktu ketidakmerataan (inequality) akan meningkat akan tetapi kemudian akan menurun karena adanya penetesan ke bawah (trickle down effect), sehingga kurva akan berbentuk seperti huruf U terbalik (Inverted U). Akan tetapi pada kenyataannya penetesan ke bawah (trickle down effect) tidak selalu terjadi, sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin semakin besar.
Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Ketidakmerataan juga menjadi masalah dunia. Menurut data World Development Report 2006, 15,7% penduduk Indonesia pada tahun 1996 berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 27,1 % pada tahun 1999. Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan, Gini index diukur dengan menghitung area antara kurva Lorenz dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar.
Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah ketidakmerataan pendidikan. Gini Index untuk pemerataan pendidikan di Indonesia mencapai 0,32, angka ini menunjukkan adanya ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan, hal ini terus menjadi lingkaran setan (vicious circle). Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar. Kesenjangan ini juga akan mengakibatkan kerawanan sosial.
Di Indonesia persentase balita yang kekurangan gizi mencapai 27,3% pada tahun 2000. Angka ini cukup besar dan harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah. Tingkat gizi yang rendah akan mempengaruhi produktivitas sehingga tingkat pendapatan akan rendah. Fasilitas kesehatan yang kurang menjangkau ke daerah terpencil di Indonesia menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Tingginya tingkat mortalitas balita yaitu 41 kematian balita per 1.000 balita dan tingkat mortalitas ibu yang mencapai 230 kematian ibu per 100.000 kelahiran menunjukkan masih rendahnya kualitas kesehatan.
Pemerataan hasil pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi perlu diupayakan supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Keberhasilan pembangunan sangat berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah harus menciptakan kebijakan pembangunan yang tepat dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan pemerataan pembangunan. Peningkatan laju ekonomi tidak selalu dibarengi dengan pemerataan. Kemiskinan tidak dapat dihilangkan dengan hanya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.
Ada tiga permasalahan umum yang menyangkut kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan permasalahan pemerataan pembangunan yaitu:
1. Sumber dana pembangunan.
2. Alokasi dana pembangunan.
3. Efektivitas dan efisiensi penggunaan dana pembangunan.
Dalam rangka mendapatkan dana bagi pembangunan, Pemerintah Indonesia telah menambah hutang dalam bentuk penerbitan surat utang negara. Padahal disamping menambah hutang banyak alternatif lain yang dapat digunakan oleh pemerintah. Penambahan hutang guna mendapatkan dana bagi pembangunan malah menyebabkan masalah baru. Hutang di kemudian hari harus dibayar beserta bunganya yang akan semakin membebani anggaran pembangunan.
Krugman dan Obstfeld menjelaskan bahwa sebagian besar negara berkembang menarik pinjaman yang begitu besar dari luar negeri.
Jumlah hutang negara berkembang sangat besar jika dibandingkan ukuran ekonomi negara tersebut dibandingkan dengan ukuran ekonomi negara industri maju. Jika tabungan nasional (S) lebih kecil dari investasi domestik (I) maka selisih itu merupakan defisit transaksi berjalan. Tabungan nasional di negara berkembang umumnya sangat rendah karena miskin modal, sedangkan peluang investasi produktif begitu melimpah. Untuk memanfaatkan pelung investasi inilah negara berkembang menarik pinjaman secara besar-besaran dari luar negeri yang berarti menjalankan neraca transaksi berjalan yang defisit. Pinjaman atau hutang untuk mengimpor barang modal diharapkan dapat dilunasi dengan keuntungan yang dihasilkan investasi itu kelak, baik pokok maupun bunganya.
Pinjaman yang ditarik negara berkembang itu bisa dijelaskan dengan logika perdagangan antar waktu (intertemporal trade). Negara berkembang terlalu miskin modal untuk mengolah segenap investasi yang tersedia, sehingga harus berhutang dengan negara lain. Sebaliknya negara kaya modal telah mengolah hampir seluruh peluang investasi produktif yang tersedia, sedangkan tingkat tabungan nasionalnya begitu besar. Oleh sebab itu, wajar jika para penabung di negara maju lebih tertarik untuk menginvestasikan uangnya di negara berkembang yang menyajikan keuntungan lebih banyak.
Transaksi ini di atas kertas menguntungkan kedua belah pihak. Namun kenyaaannya, banyak penarikan pinjaman negara berkembang yang salah. Banyak yang menggunakan dana pinjaman bagi investasi yang secara ekonomis tidak menguntungkan, bahkan dana pinjaman digunakan untuk mengimpor barang konsumsi yang tidak menghasilkan laba. Padahal laba diperlukan untuk membayar pinjaman baik pokok maupun bunganya. Selain itu rendahnya tingkat tabungan nasional diakibatkan oleh penerapan kebijakan yang keliru sehingga negara berkembang makin tergantung pada pinjaman luar negeri.
Penambahan utang merupakan suatu cara paling cepat untuk menambah dana bagi keperluan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Akan tetapi dengan menambah utang berarti akan menambah beban bunga yang harus dibayar di masa yang akan datang. Padahal menambah utang haruslah menjadi alternatif terakhir yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Walaupun demikian pinjaman bukanlah hal yang buruk, dengan catatan bahwa pinjaman digunakan untuk membiayai investasi yang kelak menghasilkan manfaat yang lebih besar dari jumlah pinjaman dan bunganya. Pinjaman tidak akan efektif apabila digunakan hanya untuk mengimpor barang konsumsi.
Dalam upaya pemenuhan keperluan dana bagi tugas umum pemerintahan dan pembangunan dapat dicarikan alternatif selain dari penambahan utang. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai contoh dengan mengefisiensikan penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan investasi langsung (Foreign Direct Investment) dan lain sebagainya.
Masalah kedua adalah alokasi dana pembangunan. Hal ini memerlukan pembahasan yang mendalam. Alokasi dana sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam makalah ini akan dibahas penggunaan dana untuk pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan. Pemerintah harus serius dalam pengalokasian dana dengan benar. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan dana kesehatan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) disatukan dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Penyatuan dana ini berakibat semakin kurang transparan penyediaan dana kesehatan.
Masalah ketiga adalah masalah efektifitas dan efisiensi penggunaan dana. Dana yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kebocoran penggunaan dana harus diminimumkan, dengan harapan dana yang terbatas dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Penggunaan harus direncanakan dengan baik sehingga tingkat daya serap (absorptive capacity) dapat tinggi.
Dari tiga masalah di atas pembahasan selanjutnya lebih difokuskan kepada alokasi penggunaan dana untuk keperluan pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan. Alokasi pengunaan dana di negara berkembang masih belum efisien. Struktur alokasi penggunaan dana di negara maju cenderung mengalokasikan dananya pada pendidikan dan kesehatan.
Alokasi dana pembangunan untuk pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan akan lebih menjamin tercapainya pemerataan dalam jangka panjang. Kebijakan alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pendidikan serta pemerataan fasilitas kesehatan. Biaya pendidikan yang lebih murah dan tersedianya fasilitas kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau akan langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam bidang pendidikan, kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS) belum mampu meringankan beban bagi masyarakat secara signifikan. Pada kenyataannya orang tua murid masih terbebani dengan biaya lainnya, seperti uang seragam yang lebih mahal daripada harga di pasaran, buku yang selalu ganti setiap tahunnya, dan biaya lainnya. Saat musim pendaftaran sekolah, banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah negeri karena biaya yang tidak terjangkau. Akibatnya mereka hanya menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki reputasi kurang baik, bahkan ada juga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya.
Beban biaya pendidikan yang semakin mahal membuat orang tua yang kurang mampu tidak dapat menyekolahkan anak mereka. Anak yang seharusnya masih mendapatkan pendidikan justru sudah bekerja mencari nafkah untuk menyambung hidup keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan berakibat rendahnya tingkat gaji yang diperoleh. Pekerja tanpa pendidikan hanya dinilai sebagai unskilled labor yang tidak memiliki bargaining position. Daya tawar yang rendah ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan yang mereka peroleh. Sehingga pada waktu mereka masih tetap saja tidak dapat menyekolahkan anak mereka sampai ke tingkat pendididkan yang tinggi.
Di sisi lain, orang tua yang kaya mampu menyekolahkan anak mereka sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Dengan tingginya tingkat pendidikan dengan mudah mereka mendapatkan pekerjaan yang bergengsi serta memiliki bargaining position yang baik sehingga mendapatkan tingkat pendapatan yang tinggi.
Lingkaran setan ini dapat diputus apabila pemerintah menciptakan kebijakan supaya rakyat dapat memperoleh pendidikan lebih merata, dengan jalan meningkatkan subsidi untuk pendidikan, sehingga semua orang mendapatkan mutu pendidikan yang sama. Dengan tingkat pendidikan yang merata diharapkan tingkat pendapatan akan lebih merata sehingga rakyat benar-benar dapat merasakan manfaat pembangunan.
Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan dana kesehatan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) disatukan dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Penyatuan dana ini berakibat semakin kurang transparan penyediaan dana kesehatan. Apabila dana kesehatan kurang maka akan terbatas sekali pengadaan fasilitas kesehatan.
Alokasi dana untuk kesehatan yang hanya 2,3% dari pengeluaran pemerintah sangat kecil. Di negara maju alokasi dana untuk kesehatan jauh lebih besar, Korea Selatan mengalokasikan 10,08% pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan yang lebih merata dapat meningkatkan produktifitas sumber daya manusia.
Sumber daya manusia yang sehat akan menghasilkan sumber daya manusia yang produktif. Dengan produktivitas yang tinggi, suatu negara akan memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan komparatif dinamis dirintis oleh Michael E. Porter (1990) dan Paul Krugman (1980). Kedua ahli sepakat bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan (created comparative advantage). Dengan kata lain, mereka menentang teori Richardo dan Ohlin yang cenderung memandang keunggulan komparatif yang alami.
Argumennya faktor yang menopang tingkatan tertinggi dalam keunggulan komparatif harus diperbaharui atau diciptakan setiap saat lewat investasi modal fisik dan manusia agar diperoleh keuntungan komperatif dalam produk yang terdiferensiasi dan teknologi produksi. Karena itu bisa dipahami apabila industri yang memiliki keunggulan komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri padat sumber daya (misalnya kayu, beras) dan padat karya yang tidak terampil (misalnya tekstil dan rokok). Ini berlainan dengan industri yang memiliki keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya padat modal (misalnya mesin dan baja) dan padat teknologi (misalnya komputer dan pesawat terbang).
Michael E. Porter menjelaskan bahwa dalam era persaingan global, suatu bangsa/negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu (attribute) yang digambarkan sebagai suatu diamond (diamond strategy). Michael E. Porter menjelaskan bahwa tidak ada korelasi langsung antara 2 faktor produksi yaitu sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang murah, yang dimiliki oleh suatu negara yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah tenaga kerjanya yang sangat besar yang proporsional dengan luas negaranya tetapi lemah dalam daya saing perdagangan internasional. Peran pemerintah sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang tersedia dalam berbagai kebijakan makronya, dalam hal ini menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Bagi pembangunan ekonomi, kualitas buruh adalah lebih penting, dengan mengadakan pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan diharapkan pekerja Indonesia lebih berkualitas dan produktif. Produktifitas ini yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian. Sumber daya manusia yang berkualitas juga diharapkan cepat menyerap penguasaan teknologi. Melalui program pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mendukung pembangunan. Sumber daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang.
Pemerataan pendidikan dapat dilakukan dengan jalan menyediakan sekolah gratis sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sekolah gratis ini dalam arti tidak ada pungutan biaya apapun, baik seragam, biaya operasional, maupun buku. Diharapkan juga sekolah gratis ini tersedia ke seluruh penjuru nusantara. Operasional sekolah harus mampu menekan biaya yang tidak perlu sehingga tidak terlalu membebani keuangan negara. Dengan menyediakan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi, diharapkan tingkat penghasilan penduduk akan meningkat karena sumber daya manusia yang dihasilkan lebih berkualitas.
Fasilitas kesehatan yang lebih terjangkau oleh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan tingkat produktifitas sumber daya manusia. Penurunan biaya kesehatan disertai peningkatan mutu pelayanan kesehatan sangat diperlukan oleh masyarakat sebagai salah satu hasil yang dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat miskin.
Di samping alokasi dana yang tepat, pemerintah juga perlu memperhatikan masalah penggunaan dana yang efisien. Pemerintah harus mampu menindak kecurangan yang merugikan pembangunan.
Pembangunan itu harus berarti pembangunan manusia seutuhnya, bukan pembangunan dalam arti fisik saja (bangunan, jalan, bendungan dan lain sebagainya). Pembangunan harus dapat dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan dapat menjamin tercapainya pemerataan dalam jangka panjang.
Alokasi penggunaan dana untuk pendidikan dan kesehatan harus lebih diprioritaskan. Kebijakan pemerintah harus dibuat supaya pendidikan dan kesehatan dapat lebih dirasakan langsung oleh masyarakat. Melalui program pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan diharapkan dapat menciptakan sumber daya manusia yang produktif. Sumber daya manusia yang produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam keberhasilan pembangunan jangka panjang.
Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana pendidikan dan kesehatan harus dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah harus tegas menindak penyelewengan yang terjadi. Penggunaan dana yang efisien dan efektif akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat sehingga mampu menciptakan sumber daya manusia yang produktif. Sumber daya manusia yang produktif menghantarkan negara pada keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di dunia internasional.

Penduduk dan Kemiskinan


Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
• penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
• penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
• penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
• penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
• penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
Meskipun mengalami kemunduran sesudah krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan dalam menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 2004, kemiskinan telah kembali ke angka semula sebelum terjadinya krisis ekonomi, tetapi naik kembali di tahun 2005-2006. Beberapa tahun belakangan ini laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia telah melambat. Diperkirakan 42 persen rakyat Indonesia hidup dengan PPP (purchasing power parity) antara AS$1-2 per hari. Angka penduduk sangat miskin (didefinisikan dengan PPP kurang dari AS$1 per hari) cukup rendah meskipun sesudah dibandingkan dengan standar negara-negara tetangga, yaitu 7,4 persen. Tetapi, jumlah penduduk yang berpendapatan PPP kurang dari AS$2 per hari adalah sebanyak 49 persen.

Meskipun sekarang ini, Indonesia telah melampaui batasan untuk menjadi negara dengan pendapatan menengah, populasi dengan pendapatan kurang dari AS$2 per hari lebih kurang sama dengan negara-negara dengan pendapatan rendah seperti Vietnam. Oleh karena itu kemiskinan di Indonesia memiliki karakteristik yang sangat unik karena tingginya jumlah penduduk ’hampir miskin’. Keadaan ini juga dapat dilihat dari tingginya tingkat kerentanan untuk ’menjadi miskin’ (keluar masuknya penduduk dari dan dalam kemiskinan diakibatkan guncangan-guncangan yang ada).
Kemiskinan di Indonesia memiliki tiga karakteristik yang menonjol. Pertama, banyaknya rumah tangga yang berkerumun di sekitar garis kemiskinan nasional dari segi pendapatan, yaitu PPP AS$1.5 per hari, hal ini membuat banyak rumah tangga tidak miskin retan terhadap kemiskinan. Kedua, perhitungan angka kemiskinan dari segi pendapatan tidak dapat mencerminkan kemiskinan di Indonesia secara sepenuhnya, banyak penduduk Indonesia yang ’tidak miskin dari segi pendapatan’ dapat tergolong miskin berdasarkan kurangnya akses mereka terhadap layanan publik dan buruknya indikator-indikator pembangunan manusia mereka. Ketiga, dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan alam yang sangat berbeda, profil kemiskinan antara satu daerah dengan daerah lainnya sangat berbeda, dan ini menjadi satu karakteristik dari keDiagnosa kemiskinan menunjukan bahwa perbaikan dalam sektor pendidikan (educational endowment) – diatas pendidikan sekolah dasar – adalah faktor kunci dalam pengentasan kemiskinan. Dan kemajuan dalam usaha mengentaskan kemiskinan baru baru ini didominasi oleh dampak terhadap sumber daya manusia dari efek endowment dan return. Investasi terhadap rakyat miskin melalui pertumbuhan ekonomi, perencanaan dan penganggaran belanja yang berpihak pada masyarakat miskin adalah sangat penting. Ditambah lagi, rakyat miskin harus dapat dihubungkan dengan kesempatan-kesempatan pertumbuhan, melalui hal-hal seperti akses terhadap infrastruktur, jalan dan kredit.
Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap
tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin diIndonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan Program Penanggulangan Kemiskinan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama(SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.


Dampak dari kemiskinan
Dampak negatif dari kemiskinan, diantaranya adalah banyak terjadi tindakan criminal dan meningkatnya jumlah pengangguranmiskinan di Indonesia.
Kemiskinan memang banyak di sekitar kita. selama ini yang kita ketahui adalah dampak negatif dari kemiskinan. antara lain kriminalitas dan prostitusi. tapi bila kita perhatikan, kemiskinan juga memiliki guna. antara lain:
1. Menambah nilai guna suatu barang. kalo kita ada baju bekas, pasti kalo ngak di jadiin kain lap, pasti di kasi orang. elo ngak mungkin ngasi baju bekas ama orang kaya kan? pasti orang miskin! nilai guna baju tersebut juga akan lebih panjang atau berguna bila di pakai orang miskin.
2. Memperkuat status sosial seseorang. kalo kita orang kaya, kita akan lebih terpandang bila punya anak buah yang banyak. apakah anak buahnya atau pembantunya orang kaya? tentu tidak!! pasti orang miskin.
3. Untuk mengerjakan pekerjaan paling Hina dan kotor. kalo tidak ada orang miskin, siap yang akan menyapu jalan raya? siapa yang mau membersihkan parit dan riol yang bau? siapa yang mau menguras septik tank kalo penuh? apakah orang kaya mau melakukan pekerjaan itu?
4. sebagai TUMBAL PEMBANGUNAN. kalo kita punya tanah dan tanah tersebut akan di jadikan sarana umum, maka tanah kita tsb akan di bayar dengan layak! sedangkan untuk pemukiman kumuh, hal tsb jarang sekali terjadi.
5. Sebagai sarana ibadah. setiap agama pasti diajarkan menyantuni orang miskin. dalam agama saya (islam), zakat (sejenis sedekah tapi hukumnya WAJIB) termasuk dalam hukum islam. jika saya tidak berzakat maka saya belum sempurna Islamnya. bagai mana kalo semua orang di dunia ini jadi kaya, mau sama siapa saya berikan zakat saya?? sedangkan syarat zakat harus di berikan pada fakir miskin!!!??
6. Membuka lapangan kerja. aneh memang. tapi dari kemiskinan akan terbuka lapangan kerja baru. antara lain, tukang kredit, jasa transportasi (becak) dan yang paling menghasilkan dan beromzet milyaran dollar per hari dari seluruh dunia adalah JUDI. judi merupakan sarana untuk menjadikan duit yang sedikit menjadi berlipat. 80% orang yang berjudi adalah orang miskin.
jadi kemiskinan bukan selalu berdampak negatif. kemiskinan bisa dikatakan sebagai kebahagiaan dan kekayaan yang di pergilirkan Tuhan bagi kita para umatNya. jadi bila anda miskin, jangan di sesali. berdoa saja pada Tuhan yang anda percayai.

Dualisme Kepemimpinan / Pengaturan


Pemimpin adalah salah satu unsur dari sebuah sistem. Unsur lainnya adalah peraturan dan ketaatan. Peraturan dalam konteks sistem non-manusia adalah Standard Operating Procedure (SOP). Ruang lingkup sebuah sistem bisa bervariasi. Sistem metabolisme sebuah virus bisa jadi adalah sebuah sistem terkecil. Ataukah ada yang lebih kecil dari itu. Sistem galaksi bisa dikatakan yang terbesar. Mungkinkah ada yang lebih agung darinya. Sebuah sistem bisa jadi merupakan subsistem dari sistem lainnya. Di sisi lain, sebuah sistem bisa menjadi sebuah supersistem dari sebagian sistem lainnya.
Berbicara tentang sistem memang tidak akan pernah ada habisnya. Tentang pemimpin saja sebagai satu unsur dari sebuah sistem diperlukan kajian yang luas dan mendalam. Tapi hal ini tentunya tidak boleh menyurutkan semangat kita. Karena pada prinsipnya, jika tidak bisa mengambil semuanya, maka janganlah tinggalkan semuanya.
Kali ini, saya ingin mengungkapkan perasaan dan pemikiran tentang dualisme kepemimpinan. Idealnya, dalam sebuah sistem hanya ada seorang pemimpin. Karena pemimpin inilah yang bertanggung jawab memastikan jalannya sistem tetap pada koridornya. Dialah yang mengarahkan pengikut mengarah ke tujuan. Lantas, bagaimana jika dalam sebuah sistem terdapat dua pemimpin? Hal ini tidak bisa diterima. Karena dua pemimpin berarti dua pemikiran yang akan mengarahkan pengikut ke dua tujuan. Dan hal ini tidak boleh terjadi dalam sebuah sistem yang baik.
Apa jadinya jika Tuhan memiliki kuantitas lebih dari satu? Tentu sistem kehidupan akan bergejolak, mempertahankan arah masing-masing. Contohnya jika dalam sebuah rumah tangga, suami dan istri sama-sama merasa jadi pemimpin? Mau dibawa kemanakah bahtera rumah tangga? Lihat saja apa yang terjadi pada sebuah partai politik yang saat ini terpecah menjadi dua kubu, karena keduanya mempertahankan pemimpin masing-masing. Contoh yang lain, seperti banyak contoh kasus dualisme kepemimpinan. Beginilah jika setiap orang keukeuh mempertahankan kepemimpinannya ketika bukan saatnya menjadi pemimpin. Kita sepakat, bahwa setiap diri adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Minimal pemimpin bagi diri sendiri. Tapi dalam lingkup kehidupan sosial, kita harus pandai menempatkan posisi yang tepat pada waktu yang tepat. Kita tidak akan mungkin selamanya menjadi pemimpin. Ada saatnya kita menjadi yang dipimpin.
Kepemimpinan itu sebuah hierarki. Dia bertingkat. Seorang pemimpin pasti memiki pemimpin. Kondisi inilah yang saat ini sering tidak kita pahami. Di saat seharusnya menjadi pengikut, ego pribadi menuntut diri untuk menjadi pemimpin. Di saat harus memimpin, keyakinan diri mengkerut sehingga hilanglah kewibawaan. Ketika momentum itu tidak kita pahami, maka terjadilah fenomena dualisme kepemimpinan. Kita memang harus lebih banyak belajar. Kapan saatnya menjadi pemimpin, bila waktunya menjadi yang dipimpin.